Keduanya Sama
Media di Inggris ramai memberitakan pengunduran diri Health Secretary (Menteri Kesehatan) Inggris, Matt Hancock. Surat pamit dari jabatan krusial saat pandemi itu diajukan kepada Perdana Menteri Boris Johnson pada Jumat 25 Juni kemarin.
Tampaknya PM Boris sudah mengetahui rencana tersebut, sehingga sehari setelahnya langsung mengangkat penggantinya Sajid Javid, yang sebelumnya pernah menjadi Home Secretary (menteri dalam negeri).
Alasan pengunduran diri bukan disebabkan kegagalannya dalam menangani pandemi. Mengingat Inggris adalah pelopor penemuan vaksin Covid-19, Oxford-Astrazaneca.
Lebih dari itu, program vaksinasi di United Kingdom cukup berhasil, lebih dari separuh warganya (66%) sudah mendapatkan dosis pertama vaksin, sangat jauh dibandingkan negara lainnya di benua Eropa.
Karena suksesnya program vaksinasi, lonjakan infeksi dapat ditekan, terutama jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit. Apalagi, data sempat menunjukkan ‘zero death’ pada awal bulan Juni kemarin.
Hancock ‘terpaksa’ mengundurkan diri setelah video dan foto skandalnya bersama staf penasehatnya menjadi viral. Skandal yang terekam kamera CCTV kantornya pada 6 Mei lalu, begitu cepat menyebar pada tanggal 25 Juni.
Surat kabar papan atas ‘The Sun’-lah yang memiliki dan pertama mempublikasikannya. Belum diketahui dengan jelas bagaimana rekaman itu bisa bocor kepada media.
Sebenarnya tidak sedikit pihak yang ‘membela’ bapak-tiga-anak itu di depan publik dengan dalih hubungan asmara adalah urusan pribadi. Privasi memang dihargai di negara Ratu Elizabeth ini.
Namun, publik menilai politikus lulusan Oxford University ini melanggar peraturan yang dia buat sendiri, yaitu ‘social distancing 2m’. Aturannya, setiap warga harus menjaga jarak dengan orang yang tidak serumah.
Meskipun tidak sedikit yang mengabaikan panduan itu, skandal ini menjadi masalah serius karena dilakukan oleh pejabat yang dibayar oleh uang publik.
Tentunya, perilaku itu mencederai perasaan warga Inggris yang sudah setahun lebih harus ‘puasa’ dari gaya hidup bebas ala Barat, yang ternyata pemimpinya sendiri tidak kuat ‘menahan’.
Di Inggris, mungkin juga negara Barat lainnya, pemandangan orang saling berpelukan dan berc***an merupakan hal biasa terlihat di tempat umum seperti di pinggir jalan, stasiun, bandara, apalagi taman.
Hanya saja saat ini jumlah ‘penampakan’ itu menurun drastis, sejak diberlakukan aturan ‘lockdown’ pada bulan Maret tahun lalu. Mungkin ini bagian dari hikmah pandemi.
Ternyata, skandal ini tidak berhenti dengan pengunduran diri. Publik juga menyoroti latarbelakang adanya ‘chumocracy’ (nepotisme) dalam pemilihan Gina Coladangelo, 43 tahun, sebagai staf penasehat dan direktur di kementerian. Gina adalah teman seangkatan Hancock ketika di Oxford. Keduanya telah lama memiliki hubungan special, meskipun keduanya sudah memiliki keluarga.
Publik menduga ada motivasi pribadi dalam proses pemilihan dan pengangkatan staf ahli penasihat di kementerian kesehatan itu. Memang ia diangkat ketika Hancock menjadi menteri. Sehingga, ada dugaan nepotisme atau penyalahgunaan wewenang untuk mengangkat teman ‘dekat’ sebagai pegawai negara.
Sebelumnya, kasus serupa berupa pelanggaran protokol kesehatan oleh pejabat publik juga pernah dilakukan oleh Dominic Cummings, penasihat utama PM Boris Johnson. Ia ketahuan oleh media melakukan travel jarak jauh, menjenguk keluarga, antar kota (London-Durham) di saat pandemi sedang parah-parahnya di bulan Maret 2020.
Pada awalnya, ia sempat dibela oleh sang bos, Borris Jhonson, akhirnya ia pun terpaksa dikeluarkan dari ‘No. 10’, kantor PM.
Meskipun kasus Hancock lebih parah dari kasus Cummings, namun intinya sama, yaitu sama-sama melanggar prokes. Kedua kasus tersebut sangat sensitif di mana pemimpin dan jajarannya, yang membuat peraturan, secara otomatis juga dituntut menjadi contoh dalam perbuatan.
Keteladanan ini yang selanjutkan akan memberikan motivasi dan pengaruh pada rakyat untuk secara sadar taat aturan. Wallahua’lam.
Example is not the main thing in influencing others. It is the only thing. (Albert Schweitzer)
UK, 29 Juni 2021