Khulasah Zakat Fitrah
Bismillahirrahmanirrahim
Tulisan ini merupakan catatan kesimpulan dari diskusi para masyayikh dan asatidz, terkait zakat fitrah, khususnya pada topik takaran dan penyalurannya.
Takaran
Dalam menentukan ukuran takaran zakat firah terdapat dua kelompok pendapat, yaitu mereka yang menakar dengan menggunakan alat takar yaitu sha’ yang digunakan pada masa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallama di kota Madinah. Adapun kelompok lainnya mengkonversi takaran sha’ kepada takaran berat, seperti kilogram atau gram.
Dasar penggunaan alat ukur takar sha’, selain mengikuti sunnah, adalah adanya perbedaan antara takaran dan berat objek yang ditakar/ditimbang. Artinya, takaran antara 1 sha’ beras dan 1 sha’ gandum adalah berbeda jika dikorversi kepada ukuran berat/timbangan modern. Sebagai contoh di Aljazair, Syeikh Muhammad Ali Ferkus menghitung takaran 1 sha’ gandum setara 2,04 kilogram [1]. Sedangkan di Mesir, Syeikh Yusuf Qardhawi pernah menghitung 1 sha’ gandum seberat 2,156 kilogram [2]. Perbedaan ini tentunya disebabkan oleh jenis dan kualitas beras atau gandum yang dapat saja berbeda di setiap wilayah. Sehingga penggunaan alat takar sha’ dinilai akan lebih memudahkan dalam penakaran berbagai jenis bahan makanan pokok.
Adapun kelompok yang menggunakan konversi, bertujuan juga untuk memudahkan praktek zakat fitrah di daerah yang mana tidak menggunakan (tidak tersedia) alat takar sha’. Korversi dilakukan berdasarkan jenis makanan pokok seuatu daerah atau wilayan. Sebagai contoh, 1 sha’ sama dengan 4 mudd, 1 mudd setara dengan dua telapak tangan ukuran sedang yang ditadahkan berdampingan, atau menurut Imam Hanafi setara dengan dua ritl Iraqi, ukuran yang digunakan di wilayah Iraq [3]. Jadi, korversi dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan ukuran setiap wilayah Muslim yang semakin meluas.
Dalam buku Fiqh Zakat karya Syeikh Yusuf Qardhawi, disebutkan bahwa rujukan yang menjadi panduan adalah takaran bukan berat [2]. Hal ini disebabkan ukuran berat bagi setiap jenis bahan makanan dapat berbeda-beda. Sehingga setiap jenis makanan yang akan menjadi pembayaran zakat fitrah mesti merujuk kepada takaran. Seperti beras, seharusnya mengikuti ukuran berat beras yang ditakar dengan 1 sha’, misalnya, 2,3 kilogram [1]. Artinya, berat 2,3 kilogram tidak dapat diberlakukan kepada bahan makanan selain beras, misalkan seperti gandum (1 sha’ gandum = 2,04 kg) dan kurma (1 sha’ kurma = 1,8 kg) dan juga berat dapat tergantung pada jenis dan kualitas bahan makanan. Jadi, akan ada standar berat tersendiri untuk pembayaran zakat fitrah dari setiap jenis makanan yang dijadikan alat pembayaran.
Pada dasarnya takaran sha’ lebih dekat dengan ukuran volume dibandingkan dengan berat. Hanya saja konversi sha’ kepada ukuran volume tidak se-populer dengan konversi berat. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat modern saat ini lebih familiar menggunakan ukuran berat, khususnya untuk bahan makanan. Namun, penggunaan ukuran volume, seperti liter, dapat menjadi alternatif bagi wilayah yang tidak menggunakan ukuran sha’ dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh di Nigeria, takaran 1 sha’ setara 3 liter, dan 1 mudd sama dengan 0,75 liter [4]. Jadi, ada juga wilayah yang lebih memilih menggunakan ukuran volume liter daripada ukuran berat.
Adapun berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Azman, et. al. (2015) menjelaskan bahwa berdasarkan observasi dari takaran sha’ Baghdad didapatkan bahwa ukuran konversi liter dari sha’ adalah pada rentang antara 3,10-3,11 liter atau dengan rata-rata 3,11 liter [5]. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian al-Hamawi (1994) yang menyebutkan volume sha’ adalah 3,11 liter [6]. Selain itu, Saudi Arabian Standards Organisation (SASO) secara resmi menetapkan bahwan ukuran sha’ yang digunakan dan bersanad kepada ukuran sha’ Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallama, adalah setara 3,03 liter (Khalid, et. al. 2001) [7]. Selanjutnya, Al-Ghafili menyebutkan bahwa ukuran sha’ yang bersanad kepada sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘Anhu yang digunakan oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallama setara dengan volume 3,14 liter [8]. Kemudian, penelitian Azman, et. al. (2015) juga menyebutkan beberapa hasil penghitungan yang dilakukan oleh peneliti lainnya seperti Yusuf Qardhawi (2,75 liter) dan Mustafa al-Khin (3 liter) [5]. Jadi, hasil pengukuran takaran sha’ kepada satuan liter adalah setara mulai dari 2,75 liter sampai dengan 3,14 liter. Adapun klaim sha’ yang bersanad adalah pada ukuran volume 3,03 liter (SASO) dan 3,14 liter (Al-Ghafili).
Kesimpulan, takaran sha’ untuk di korversi pada konteks Indonesia adalah dengan mengikuti ketetapan BAZNAS sebagai otoritas resmi zakat negara dan Kementerian Agama R. I., yaitu untuk ukuran berat beras sebesar 2,5 kg ataupun ukuran volume sebesar 3,5 liter [8]. Kedua ukuran tersebut yang merupakan hasil ijtihad para alim ulama di Indonesia (2,5 kg/3,5 liter beras) dan telah melebihi penghitungan konversi sha’ dengan berat 2,3 kg [1] dan volume maksimal 3,14 liter [9]. Jadi standar kadar zakat fitrah baik yang ditetapkan oleh BAZNAS atau MUI (2,5 kg/3kg atau 3,5 liter) berada di atas batas aman (berdasarkan sunnah).
Penyaluran
Dalam buku Fiqh Zakat karya Syeikh Yusuf Qardhwi disebutkan bahwa, secara singkat, ada tiga pendapat ulama dalam penyaluran zakat fitrah ini [2]. Pertama, pendapat ulama madzab Syafi’i yang menyatakan bahwa penyaluran dibagi rata kepada delapan golongan penerima zakat. Kedua, Jumhur ulama berpendapat dibolehkan untuk mengkhususkan kepada kelompok faqir. Adapun pendapat ketiga menyatakan bahwa wajibnya penyaluran dikhususkan kepada kelompok faqir (Ulama madzab Maliki, Imam Ahmad, Ibn Qayyim, dan Ibn Taimiyyah).
Selanjutnya, menurut Syeikh Yusuf Qardhawi bahwa pendapat yang raajih atau yang lebih kuat adalah mendahulukan kelompok faqir dari kelompok lainnya berdasarkan kebutuhan dan mashalahat [2]. Artinya, memprioritaskan penyalurakan kepada golongan faqir, dan jika telah terpenuhi, kemudian kepada kelompok miskin, dan seterusnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan golongan faqir dapat memiliki kecukupan makanan untuk dinikmati ketika hari raya. Mengingat kewajiban zakat fitrah adalah bagi mereka yang memiliki kelebihan makanan pada untuk malam hari sebelum dan ketika hari raya. Jadi, mereka yang tidak memiliki makanan untuk hari raya adalah penerima zakat fitrah. Sebagai contoh, seorang gharim, jika ia tidak memiliki makanan untuk hari raya, maka ia termasuk yang didahulukan untuk menerima zakat. Penentuan ini tentunya akan merujuk hasil pendataan petugas zakat di masing-masing daerah.
Jumlah bagian zakat yang diberikan juga disesuaikan dengan kebutuhan untuk makan, minimal pada hari raya. Artinya, tujuan zakat fitrah adalah untuk menjamin setiap muslim dapat menikmati dan bergembira dengan makanan yang dimiliki pada hari raya. Hal ini sesuai dengan dengan hadits tentang perintah zakat fitrah yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang menyebutkan kata “thu’matan lil-masakin” [10] yang berarti menyenangkan dengan makanan. Jadi, standarnya adalah kebutuhan makan pada hari raya dan melihat mashlahat. Sehingga penentuan ini berdasarkan kondisi dan kajian setiap daerah, yang mungkin saja dapat berbeda-beda.
Petugas zakat fitrah mendapatkan bagian dari zakat yang dikumpulkan. Jika merujuk kepada pendapat ulama madzab Syafi’i terkait pembagian yang merata [2], maka bagian amil adalah 1/8 atau 12,5% dari total zakat yang terkumpul. Namun dalam prakteknya perlu memperhatikan jumlah dana zakat dikumpulkan. Jika menggunakan prosentasi, maka pembagian metode ini akan memiliki penghitungan yang terlalu sedikit atau terlalu banyak untuk bagian amil. Sebagai contoh, zakat fitrah terkumpul sebesar 10 juta rupiah, bagian amil menjadi 12,5% x 10.000.000 = 1.250.000, padahal biaya operasional untuk amil dalam 3 hari hanya membutuhkan biaya sebesar 600 ribu. Dapat dibandingkan jika dana yang terkumpul lebih besar dari angka di atas, maka bagian amil akan semakin besar dan tentunya juga akan melebihi dari kebutuhan riilnya. Sebaliknya, jika dana lebih kecil dari jumlah di atas, bagian amil dapat menjadi kurang dari biaya yang dibutuhkan. Maka dari itu, bagian amil diberikan sesuai dengan kerja atau usaha yang dilakukan dalam pengumpulan zakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal yang menjelaskan bagian amil didasarkan kepada usaha dan pekerjaan mereka tidak kurang dan tidak lebih, seperti pegawai lainnya [11]. Hal ini menjelaskan bawah bagian amil adalah upah yang diberikan atas pekerjaan yang dilakukannya dalam pengumpulan dan penyaluran zakat yang jumlahnya disesuaikan dengan pekerjaan sejenis sesuai standar setiap wilayah.
Wallahu’Alam Bishawab.
England, 27 Ramadhan 2021
Royyan R. Djayusman
Referensi
[1] http://www.salafitalk.net/st/viewmessages.cfm?Forum=24&Topic=11466
[2] Fiqh Zakat, Syeikh Dr. Yusuf Qardhawi, Cetakan ke-16, 2006.
[3] https://www.dar-alifta.org/Foreign/ViewFatwa.aspx?ID=6389
[4] https://mpac-ng.org/zakaat-ul-fitr/
[5] Azman, A. R., Said, D. N. A., Hafidzi, H., Sa’dan, A. A., 2015. Calibration of Gantang (Sa’) Based on Metric System for Agricultural Zakat in Malaysia, ASM Science Journal, Volume 9 (2), p. 17-28.
[6] Abi Syuja’ Ahmad bin al-Husain al-Ishfahani, 593H, Matn al- Ghayah wa at-Taqrieb fil Fiqh asy-Syafi’I, 2nd edn, Beirut, Dar Ibnu Hazm. Translated by Majid al-Hamawi (1994).
[7] Khalid, YK, Sulaiman, MS & Abdul Aziz, MY 2001, Saudi Arabian standards organization achievements in 20 years of Sovereignty of King Fahd Abdul Aziz, Saudi Arabia.
[8] Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif.
[9] Al-Ghafili, AM n.d. Gantang: between old and new Standard, Saudi Arabia.
[10] Hadits Riwayat Abu Daud, No. Hadits 1373, Sunan Abi Daud, Cetakan Pertama, Darul Fikri, Syuriah.
[11] Kitab Al-Amwal, Imam Abi Ubaid Alqasim Ibn Salam, Tahqiq Dr. Muhammad Imarah, Darul-Syuruq, Cetakan Pertama, 1989.