Sedekah Terarah
Sebagian orang tampak ter-/digiring oleh motivasi duniawi dalam menyalurkan sedekah. Tulisan ini sedikit memberikan gambaran terkait alokasi sedekah.
Untuk melihat fenomena di atas, dapat dirujuk kembali kepada konsep dan tujuan sedekah itu sendiri. Dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 60, disebutkan bahwa sedekah, baik yang bermakna sedekah pada umumnya dan sedekah yang bersifat wajib (zakat) merupakan hak orang faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil.
Secara singkat, dalam At-Tafsir Al-Wasith li At-Tanthawy, faqir adalah orang yang secara ekonomi berapa pada level terendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun miskin merupakan orang yang memiliki penghasilan namun tidak mencukupi.
Amil adalah orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan dan menyalurkan sedekah. Muallaf merupakan sekelompok orang baik non-Muslim maupun Muslim yang pengaruh dan hatinya perlu dibina sehingga terhindar dari bahaya, memberikan mashlahat, dan sarana datangnya hidayah.
Kemudian riqab yaitu budak untuk dimerdekakan. Gharimin adalah orang yang terlilit hutang yang bukan untuk maksiat. Fisabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah. Terakhir adalah ibnu sabil adalah musafir yang kekurangan bekal sehingga kesulitan untuk mencapai tempat tujuannya.
Berdasarkan kategori di atas, sedekah dapat disalurkan kepada objek yang lebih beragam, khususnya pada kategori fi-sabilillah karena maknanya yang luas. Hal ini sebagaimana pendapat salah satu ulama kontemporer Syeikh Yusuf Qardhawi dalam karyanya Fiqh Zakat yang menjelaskan makna fisabilillah setidaknya memiliki dua makna, pertama, adalah orang yang berjuang dan berperang membela agama. Dalam konteks kontemporer, perang juga dapat dimaknai dengan perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan yang dihadapi oleh kaum Muslimin.
Makna kedua, kata fisabilillah yang berarti di jalan Allah, juga memiliki makna fi-sabili-mardhatillah, fi-sabilil-haq dan fi-sabilil-khair. Artinya, makna fisabilillah mencakup setiap aktivitas yang diridhai Allah, tujuan yang benar dan dalam rangka kebaikan. Sebagai contoh kegiatan dakwah, pendidikan, pembangunan sarana ibadah, jembatan, sumber mata air, dan fasilitas yang memberikan mashlahat lainnya.
Penyebutan golongan di atas juga dapat memiliki makna prioritas. Dalam Tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa penyebutan gologan faqir di awal, dikarenakan keadaan mereka lebih membutuhkan dari golongan miskin dan kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan perlu adanya prioritas dalam penyaluran sedekah, apalagi jika dananya masih terbatas. Selain itu, prioritas juga dapat ditentukan berdasarkan kajian para ahli dengan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi kebutuhan sebuah masyarakat. Prioritas bukan berawal hanya dari kemauan seorang donor.
Dalam konteks Indonesia, penyaluran dana sedekah juga tentunya, salah satunya, akan mempertimbangkan jumlah penduduk fakir-miskin yang pada September 2020 bertambah sebanyak 2,76 juta, sehinga total menjadi 27,55 juta orang (BPS, 2021). Mereka membutuhkan bantuan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, namun juga bantuan agar mereka dapat berjuang berdiri di atas kaki sendiri untuk kehidupan yang lebih layak, di atas garis kemiskinan versi BPS, Rp458.947 per bulan.
Sedekah terhadap orang-orang di sekitar kita yang masih kurang beruntung (faqir, miskin) merupakan salah satu bentuk kepedulian. Dalam sebuah Hadits disebutkan bahwa “tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah, dan mulailah (sedekah) kepada sekitar kalian” (HR. Bukhari). Artinya, pemberian sedekah juga memperhatikan jarak atau radius di mana kita tinggal. Selain jarak geografis, jarak juga bermakna hubungan nasab atau kerabat dekat.
Dalam Hadist lainnya, ketika Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallama menugaskan Mu’ad Radhiyallahu ‘Anhu sebagai pemimpin di wilayah Yaman, Beliau berpesan terkait pengumpulan sedekah (zakat) yaitu “diambil dari golongan orang kaya di antara mereka (penduduk Yaman), dan dibagikan kepada golongan faqir dari mereka”. Hadits ini menjelaskan bahwa kode etik pengumpulan dan penyaluran sedekah, yaitu dengan memperhatikan wilayah di mana sedekah itu dikumpulkan untuk kembali dibagikan bagi yang membutuhkan di daerah itu. Apabila tidak ada lagi yang membutuhkan, para ulama berpendapat, dana sedekah dapat disalurkan kepada daerah lainnya yang membutuhkan.
Praktek sedekah mestinya terlepas dari self-interest dan kepuasan pribadi, apalagi dari pengaruh ‘trending’ dan ‘promosi’ dari tempat yang nan jauh. Sehingga menutup kepedulian kita pada kebutuhan sedekah di lingkungan sekitar. Mari jadikan sedekah kembali terarah, sesuai sunnah.
Wallahu’alam Bishawab.
United Kingdom, 24 Ramadhan 1442