Suleymaniye Masjid
#Masjid ke-9 dari Ziarah 99 Masjid di Britania Raya
Jumatan kali ini, 3 Dzulhijjah 1441/24 Juli 2020, penulis mengunjungi Masjid Suleymaniye, dengan nama lengkap Suleymaniye Cultural Centre | Kultur Merkezi, London.
Sesuai dengan ‘merek’-nya, masjid ini adalah masjid yang didirikan oleh komunitas Turki di jantung ibu kota Britania Raya. Pembangunan masjid ini dimulai sejak tahun 1994, dan dibuka untuk umum lima tahun kemudian, tepatnya Oktober 1999.
Masjid yang terletak pada arah utara dari London Waterloo Station sangatlah mudah dijangkau, khususnya dengan transportasi umum. Jika menggunakan bus, cukup satu kali naik saja, yaitu bus nomor 243 jurusan Wood Green dari halte bus Waterloo.
Bus akan menelusuri kawasan Old Street, sebuah jalan yang usianya sangat tua, 2.000 tahun, sejak zaman Roman Empire. Karena sangat tuanya, nama ‘Old Street’ sudah dikenal semenjak Robin Hood memulai pergerakannya di sekitar ‘Sherwood Forest’ yang terletak di antara kota London dan Leeds.
Ciri khas utama masjid yang berusia 20 tahun ini adalah bentuk dan tinggi menaranya (Minaret). Bentuk bangunannya berupa silinder dengan dua buah balkoni dan diakhiri dengan kubah lancip di atasnya, sama seperti menara masjid Aya Sophia dan menara masjid lainnya di Turki.
Menurut ahli sejarah, Fraenkel (dalam Encyclopedia of Islam), bahwa model menara seperti ini adalah model yang dikembangkan sejak zaman Daulah Saljuk yang dilanjutkan oleh Daulah Turki Usmani dengan perpaduan unsur arsitek Persia.
Adapun tingginya mencapai 66 meter, saat ini, masih menjadi menara masjid tertinggi di Britania Raya. Menara ini pun dapat langsung dilihat semenjak turun di halte terdekat, St. Leonard’s Hospital.
Sesuai asal bangsa para pendirinya, interior masjid berkiblat kepada ornamen keramik berwarna dominan biru. Birunya ornamen menyerupai suasana Masjid Sultan Ahmed atau yang dikenal juga dengan Blue Mosque di Istanbul.
Selain itu, mulai dari bentuk tempat imam shalat berdiri (maqam), desain mimbar, sampai dengan tempat bilal yang berada di bagian belakang jama’ah, dengan panggung kecilnya, sangat memperlihatkan tatanan dan protokol layaknya masjid di wilayah Muslim Anatolia.
Suasana ini akan menjadikan pengunjung larut bernostalgia suasana masjid di Turki, lupa jika sedang berada di salah satu sudut kota London.
Manajemen penggunaan bagunan masjid sangat kompleks. Bangunan terdiri atas lima lantai (enam lantai versi Indonesia). Lantai dasar (ground floor) digunakan untuk perkantoran, ruang makan, madrasah dan bisnis centre seperti travel haji dan umrah serta funeral services.
Selanjutnya, lantai pertama dan kedua difungsikan sebagai ruangan utama untu shalat berjamaah. Lantai kedua didesain mengitari kubah, sehingga jamaah pada lantai pertama dapat melihat atap kubah. Desain ini seperti halnya masjid-masjid di Indonesia, di mana jamaah lantai kedua dapat melihat imam dan jamaah di lantai pertama.
Adapun lantai lainnya digunakan untuk kelas dan asrama siswa ‘Marathon School’, kemudian conference dan wedding hall.
Khutbah Jumat dimulai pukul 1.30 untuk gelombang pertama, yang kemudian akan dilanjutkan dengan gelombang kedua pada pukul 14.00. Khutbah menggunakan perpaduan bahasa Turki dan Inggris pada khutbah pertama dan kedua.
Sebelum khatib naik ke atas mimbar, bilal membaca shalawat, sebagaimana yang jamak dilakukan di masjid-masjid tanah air. Termasuk adzan, dikumandangkan dua kali, setelah azan pertama, lagi-lagi bilal mengumumkan ajakan untuk shalat sunnah qobliyah, suasana yang belum pernah ditemui di masjid-masjid di bawah manajemen komunitas muslim asal Asia Selatan.
Dapat disimpulkan, jika rindu pada suasana Jumatan di kampung halaman (Indonesia), datanglah ke Masjid Suleymaniye.
Sepulang dari masjid, penulis membaca berita bahwa pada hari yang sama, telah dilaksanakan shalat Jumat Perdana di Masjid Aya Sophia Turki. Masya Allah.
London, 3 Dzulhijjah 1441/24 Juli 2020 | Royyan R. Djayusman