Life

2 Kasus, 2 Kafe dan 2 Profesi

Sebagian besar orang berpikir, bagaimana cara untuk mencapai kebahagiaan. Namun, ada juga sebagian lainnya, yang berusaha agar orang lain tetap berbahagia. Tulisan ini mencoba mengungkapkan berbagai kisah unik saling berbagi suasana bahagia.

Kamis sore pukul 16.37 waktu London penulis mendapatkan kiriman berita – dari group WhatsApp komunitas muslim Kingston – tentang insiden penusukan seorang muadzin di London Central Mosque yang kebetulan merupakan salah satu masjid favorit penulis untuk shalat Jumat. Insiden tersebut terjadi ketika shalat Ashar dimulai, seketika seorang pria – ikut berdiri dalam barisan shalat – menusuk sang muadzin dengan pisau di area antara bahu kanan dan leher.

Melihat kejadian ini, sebagian jamaah membatalkan shalat untuk mengamankan si pelaku dan sebagian lagi membawa korban yang bercucuran darah ke rumah sakit. Tak lama waktu berselang, polisi datang untuk membawa dan menginterogasi pelaku yang mengenakan jaket berwarna merah ke kantor polisi (Scotland Yard). Adapun, info dari rumah sakit menyebutkan bahwa korban yang berusia 70 tahun itu telah ditangani oleh tim medis dengan baik dan diperbolehkan untuk pulang untuk rawat jalan – bahkan beliau langsung ikut shalat Jumat pada keesokan harinya-.

London Central Mosque
Picture : change.org

Di antara hal yang paling menarik adalah pernyataan sang korban yang bernama Raafat Maglad yang memaafkan pelaku penusukan atas dirinya, bahkan dia sangat kasihan dengan pemuda yang melukainya. Dalam narasi aslinya Maglad berkata: “….I forgive him, why not? I feel very sorry for him, I fell very sorry for him…..”

Kisah di atas mengingatkan penulis pada kasus serupa – namun tak sama – dengan kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh Trey Alexander Relford pada bulan April 2015 di Kentucky, Amerika Serikat. Pelaku membunuh korban – seorang muslim – yang berprofesi sebagai pengantar pizza. Dalam sidang kasus ini, yaitu pada November 2017, terdakwa dituntut 31 tahun penjara, dengan kata lain si pembunuh akan keluar dari penjara ketika dia nantinya berusia 55 tahun.

Momen yang mengharukan adalah pada saat ayah korban – Jitmoud – memberikan pernyataan bahwa ia memaafkan sang pembunuh dan mengatakan – dalam bahasa aslinya – “Forginvess is the greatest gift of charity in Islam”. Seketika itu juga terdakwa menangis dan mendatangi sang ayah untuk minta maaf dan merekapun mengeluarkan air mata serta saling berpelukan, yang lalu diikuti oleh kedua keluarga besar yang hadir.

Kedua Muslim di atas mencoba memberikan kebahagiaan melalui pintu maaf. Tentunya perasaan kedua pelaku kejahatan di atas akan berbeda ketika korban ataupun keluarga korban merespon dengan penuh kebencian dan dendam. Namun, dengan maaf sang muadzin, korban penusukan di London-UK, dan seorang ayah yang kehilangan anaknya di Kentucy-US, paling tidak, memberikan rasa tenang dan damai bagi pelaku secara psikologis.

Selain itu, dengan memaafkan, kedua Muslim tersebut telah berusaha melepaskan rasa benci dan dendamnya, sehingga ia akan mampu membahagiakan dirinya. Suasana ini, pernah dicontohkan oleh Rasulullah Salallahu A’laihi wa sallam ketika memaafkan Wahsyi sang pembunuh Hamzah bin Abdul Muthalib ra., paman Rasullah Salallahu A’laihi wa sallam, yang pada akhirnya, Wahsyi pun menjadi pejuang Islam di barisan terdepan, khususnya dalam memerangi pasukan murtad Musailamah Al-Kadzdzab, sang nabi palsu.

Bersambung….