Life

2 Kasus, 2 Kafe dan 2 Profesi (lanjutan)

Cara membagi kebahagiaan kedua adalah dengan belanja – sebagai contoh – “Surbiton Farmers’ Market”, sebuah pasar bagi petani dan pedagang lokal untuk dapat menjangkau konsumen secara langsung. Dengan pasar ini, petani – yang biasanya harus rela menerima harga beli hasil panen yang murah dari tengkulak- dapat merasakan untung yang lebih.

Suasana Surbiton Farmers’ Market
Picture : surboditton.com

Selain itu, pasar petani, yang diselenggarkan hanya pada hari Sabtu pekan ketiga setiap bulan, dan dimulai pukul 9.00-13.00 ini, dirintis oleh para relawan (volunteers) yang peduli dengan nasib petani dan pedagang lokal. Meskipun namanya “Farmers’ Market” barang yang dijual tidak hanya hasil pertanian seperti sayuran dan buah-buahan, namun ada juga makanan dan minuman ‘home made’ – suasananya agak mirip dengan Sunday Morning-nya Jogja di sekitar kampus UGM – .

Cara unik selanjutnya adalah berbagi waktu buka kafe atau restaurant. Hal ini dijumpai penulis pada saat memperhatikan dua kafe yang letakknya bersampingan, di wilayah London bagian selatan. Penulis sering melewati dan melihat ketika satu kafe buka, kafe satunya tutup. Ternyata, waktu bukanya memang beda! Kafe pertama menyediakan menu English Breakfast (bacon, fried egg, sausage, mushrooms, baked beans, toast, grilled tomatoes, and accompanied with tea or coffee) – penulis juga pernah belum mencoba – sampai dengan menu lunch, lalu tutup ketika mulai menjelang sore.

Selanjutnya, kafe kedua mulai buka pada sore hari hingga larut malam, untuk melayani menu dinner (Kebab, Burger dan Chips) dan cemilan larut malam. Tampaknya kedua kafe ini berbagi waktu dalam rangka segmentasi konsumen, yang akhirnya kedua kafe mendapat pelanggan masing-masing – tidak rebutan pelanggan -.

Waktu buka dua cafe di atas mengingatkan penulis ketika dulu sering menggunakan bus Harapan Jaya dari Jakarta ke Ponorogo. Kelebihan bus ini adalah melintas rute di depan kampus, sehingga bisa minta berhenti di kampus. Biasanya bus tiba di Ponorogo dan melewati kampus setelah subuh, namun suatu saat bus dua jam lebih cepat, tepatnya jam 3 dini hari sudah tiba di Jetis – ini pun baru sadar dari ‘semi’ tidur. Pada saat itu, penulis mencari moda transportasi untuk menuju kampus sekaligus rumah yang jaraknya 4,7 km, ternyata ada seorang tukang ojek yang sudah standby.

Singkat cerita, dalam obrolan selama perjalanan, tukang ojek tersebut hanya beroperasi di Jetis sampai subuh, karena selanjutnya berbagi dengan tukang becak. Narasi yang masih penulis ingat kurang lebih: “Kasihan mas sama tukang becak kalau masih ngojek setelah jam 5 pagi”.

Kesimpulan, kebahagiaan dapat diraih dan dibagi dengan cara memaafkan dan minta maaf, belanja, dan berbagi jadwal buka kafe serta saling berbagi jam atau wilayah kerja. Intinya adalah, seseorang akan merasa bahagia ketika dapat membantu dan melihat orang lain ikut bahagia. Selain itu, penulis juga dapat lebih memahami ‘Nash Equilibrium Game Theory’ dari kedua contoh riil kafe dan profesi (ojek dan becak) tersebut di atas. WallahuA’lam.

Penulis terlarut dalam memikirkan berbagai kisah di atas selama perjalanan – jalan kaki – dari flat ke Surbiton Farmers’ Market, khususnya kisah tukang ojek, yang saling berbagi kebahagiaan dengan tukang becak. Alangkah senangnya jika dapat berbagi kebahagiaan dengan petani nantinya setiba di pasar.

Ketika tiba di lokasi, penulis baru menyadari, kalau Sabtu ini bukan pada pekan ketiga sehingga bukan jadwalnya dan lokasi sepi. Tampaknya, kali ini penulis harus kembali berbagi kebahagiaan dengan supermarket terdekat untuk membeli kebutuhan minggu ini.

29 Jumadal Akhirah 1441/23 February 2020

London, Winter 2020