Hukum Bekerja di Bank Konvensional Menjadi Wajib?
Ada pendapat yang menjelaskan bahwa bekerja di bank konvensional itu wajib dilakukan dalam rangka usaha untuk konversi bank tersebut ke bank syariah. Pendapat ini tentunya melahirkan tanggapan yang pro dan kontra yang akan coba dibahas secara singkat dalam tulisan ini.
Alasan utama yang mendukung hukum wajib bekerja di bank konvensional adalah konversi syariah. Artinya, dengan bekerja di bank tersebut, dimungkinkan karyawan memiliki kesempatan untuk melakukan upaya perubahan bentuk bisnis perbankan secara internal dari sistem bunga dan riba kepada sistem syariah. Selain itu, pada saat ini bank syariah yang murni didirikan secara syariah dianggap belum dapat menandingi bank konvensional baik dari segi aset ataupun pangsa pasar. Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat pertumbuhan bank syariah strategi konversi bank konvensional kepada bank syariah menjadi pilihan yang dipertimbangkan.
Sebaliknya, pendapat yang berlawanan menjelaskan bahwa kewajiban bekerja di bank konvensional dengan alasan konversi merupakan pendapat yang tidak logis, paling tidak dengan tiga alasan. Pertama, alasan yang paling fundamental adalah ketidaksesuaian dengan konsep al-kasbu atau bekerja dalam Islam. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa jenis, proses dan hasil dari pekerjaan harus sesuai ketentuan hukum Allah swt. Sebagai contoh, pendapatan seorang pedagang akan dianggap halal apabila jenis barang yang dijual dan proses jual-beli sesuai dengan syariah seperti syarat, rukun terpenuhi dan tidak mengandung unsur maisir, tadlis, riba, gharar, bai’ najasy, dan ihtikar. Hal ini juga menjelaskan bahwa bekerja di bank konvensional yang sudah jelas mempraktekkan riba adalah melanggar syariah, karena hukum bunga bank termasuk riba yang telah jelas dijelaskan dalam Al-Qur`an, Hadits, ijma’ dan fatwa ulama klasik maupun kontemporer. Ketentuan ini juga sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah melaknat pemakan harta riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, penulis riba, dan dua orang saksinya. Dan ia mengatakan, ‘Mereka semua itu sama’.” (HR Muslim).
Alasan kedua adalah peluang konversi bank konvensional ke bank syariah sangat kecil jika bertujuan agar bank tersebut lebih besar dari bank konvensional. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwasanya tidak/belum ada bank konvensional besar yang memilih konversi menjadi bank syariah. Adapun model yang dipilih saat ini adalah membuka Unit Usaha Syariah (UUS) yang kemudian dapat dikembangkan terpisah dari induknya (spin off), seperti Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Mega Syariah dan BRI Syariah. Proses konversi dari konvensional ke syariah masih terjadi pada level yang lebih kecil yaitu bank daerah yaitu Bank Pembangunan Daerah seperti Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah dan Bank Nagari Syariah di Sumatera Barat yang ketiganya adalah bank umum daerah yang sebelumnya menggunakan sistem konvensional. Pada dasarnya bank daerah tersebut memiliki opsi antara melakukan spin off atau konversi. Pilihan spin off tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk pengembangan UUS di bank konvensional untuk benar-benar dapat menjadi bank umum syariah yang kuat dan mampu bersaing di pasar. Adapun konversi menjadi opsi yang dipilih karena segmentasi dan positioning pasar yang hampir sama dan mirip dengan bank daerah konvensional. Oleh karena itu, alasan bekerja di bank konvensional dengan tujuan agar dapat mengusahakan konversi syariah sehingga dapat menjadi lebih besar dari bank konvensional kemungkinannya kecil dan tidak strategis.
Alasan ketiga adalah sistem pengambilan keputusan di bank konvensional. Artinya, mayoritas bank konvensional berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang pengambilan keputusan tertinggi ada pada rapat pemegang saham bukan rapat para pegawai bank. Dalam rapat pemegang saham tentunya pemilik saham mayoritas akan menjadi penentu arah keputusan yang diambil. Hal ini menjelaskan bahwa pihak pemegang saham atau pemilik modal yang lebih besar akan mendapatkan posisi strategis dalam pengambilan keputusan. Pada posisi ini, dewan direksi dan jajarannya serta pegawai bank hanya bertugas untuk melaporkan kinerja dan menjalankan hasil rapat para pemegang saham. Sebagai bukti, kasus konversi yang dilakukan oleh Bank Nagari Sumatera Barat yang merupakan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dijelaskan bahwa keputusan konversi berasal dari pemerintah daerah dan pemegang saham yang memerintahkan direksi untuk melakukan konversi menjadi bank umum syariah. Artinya, kekuasaan tertingi ada pada pemegang saham bukan pada karyawan.
Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan bahwa wajib hukumnya bekerja di bank konvensional dengan alasan untuk dapat mengupayakan konversi dari dalam adalah tidak seusuai dengan konsep bekerja dalam Islam dan alasan yang diungkapkan juga tidak logis dan sangat tidak strategis. Selain itu, pendapat tersebut justru malah dapat berbahaya bagi masyarakat umum yang mencari pembenaran dari praktek ribawi saat ini. Apakah ada jaminan umur bahwa karyawan di bank konvensional akan merasakan konversi? Siapa yang akan bertanggungjawab di hadapan Allah swt atas hasil riba yang dimakan para pegawai, istri dan anak-anaknya? Wallahu ‘alam bishawab.